Senin, Agustus 13, 2012

Kecurangan, Pemulihan nama baik, dan pembalasan



KECURANGAN
            Kecurangan atau curang identik dengan ketidak jujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
            Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau, orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga atau usaha. Sudah tentu keuntungan itu diperoleh dengan tidak wajar. Yang dimaksud dengan keuntungan disini adalah keuntungan yang berupa materi. Mereka yang berbuat curang menganggap akan mendatangkan kesenangan atau keenakan, meskipun orang lain menderita karenanya.
            Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila ada yang melebihi kekayaannya. Padahal agama apapun tidak membenarkan orang mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya tanpa menghiraukan orang lain, lebih lagi mengumpulkan harta dengan jalan curang. Hal semacam itu dalam istilah agama tidak diridhoi Tuhan.
            Bermacam – macam sebab orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada empat aspek yaitu aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban, dan aspek teknik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma – norma moral atau norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan, tentang baik dan buruk Pujowiyanto dalam bukunya “filsafat sana – sini” menjelaskan bahwa perbuatan yang sejenis dengan perbutatan curang, misalnya membohong, menipu, merampas, memalsu dan lain – lain adalah bersifat buruk. Lawan buruk sudah tentu baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia. Pada diri manusia seakan – akan ada perlawanan antara baik dan buruk. Baik merupakan tingkah laku, karena itu diperlukan ukuran untuk menilainya. Namun sukarlah untuk mengajukan ukuran pernilaian mengenai hal ytang penting ini. Dalam hidup kita mempunyao semacam kesadaran dan tahulah kita bahwa ada baik dan ada lawannya, pada tingkah laku tertentu juga agak mudah menunjuk mana yang baik, kalau tidak baik tentu buruk.
            Dalam pewayangan soal baik dan buruk ini juga diajukan tidak secara teori, juga tidak ditunjuk jelas apakah yang menjadi ukuran baik. Namun terang sekali ajaran perwayangan secara konkrit, ksatria yang dianggap sebagai wakil kebaikan, kalau berperang melawan raksasa sebagai wakil kebalikan baik itu, tentu tidak selalu segera, tetapi kemenangan terakhir tentulah pada kebaikan.
            Malah ada beberapa sarjana yang mengatakan bahwa perwayangan itu hanya menggambarkan peperangan antara yang baik dan buruk. Mungkin ini secara barat banyak benarnya. Kami katakan secara barat, karena orang barat suka kepada yang abstrak, berlaku umum. Tetapi kalau dari alam perwayangan itu sendiri, kami rasa kurang cocok, karena disini serba konkrit dan serba tertentu dan kalau hendak mencari yang umum dan konkrit itu, diserahkan saja kepada penonton wayang. Biasanya inipun tidak terlalu perlu, karena tingkah laku yang sebenarnya toh konkrit pula.
            Dalam tingkah laku yang konkrit itu ternyata masih sulit untuk membedakan mana tingkah laku yang baik dan mana lagi yang sebaliknya. Mungkin saja dicarikan alasan – alasan yang menerangkan bahwa yang buruk itu baik juga, tetapi akhirnya toh akan nyata buruknya juga. Dalam bahasa jawa ada ungkapan “Becik ketitik, ala ketara” artinya yang baik akan nampak, yang buruk juga akan nyata. Siapa yang baik, dan siapa yang buruk tingkah lakunya.
            Pertunjukan wayang dalam cerita – certianya sudah tua sekali dan pada waktu itu masih jaman feodal. Yang dianggap baik ialah raja. Raja tidak dapat keliru, serba benar dan serba baik.
            Dalam perwayangan, yang baik ialah raja perwayangan, tidak semua raja, melainkan raja tanah jawa, itulah yang sebenarnya raja. Semua peristiwa salam perwayangan terjadi di tanah jawa atau sehubungan dengan tanah jawa. Ini tentu saja tidak perlu tanah jawa geografik sekarang ini, tetapi tanah jawa perwayangan.
            Kalau demikian yang melawan tanah jawa itu yang hendak merusak dan menjajah, mau memfitnah, semuanya yang melawan raja itu berarti melawan yang baik dan dengan demikian buruklah ia sehingga akhirnya tentu kalah juga.
            Dalam perwayangan, terutama wayang purwa, lakon – lakon diangkat dari siklus Pandawa , sebab raja – rajanya itu menurut kepercayaan mereka juga keturunan wisnu. Dalam lakon – lakon itu, pandawa juga selalu baik, serba jujur, tulus, kuasa tapi sederhana, suka memberi pertolongan juga kepada dewa kalau ada kesulitan.
            Sebaliknya, kurawa merupakan penjelmaan burk, tidak jujur, tidak tahu apa – apa, tidak dapat berperang, kalau berperang selalu kalah. Rajanya waktu hendak kawin saja harus ditolong oleh Harjuna.
            Penasehatnya, Pandita Drona, itupun bukan pendeta yang jujur, bukan ahli tapa, tetapi iri hati, congkak. Hanya pembicaraannya yang muluk – muluk, tetapi sebetulnya tak berarti sehingga ia bukanlah pendeta yang sebenarya karena tidak mencari kebenaran.
             Yang diutarakan diatas  itu tidak semuanya sesuai dengan cerita dalam sumber cerita itu. Penjelasanya itu hanya bertujuan menerangkan adanya perlawanan baik dan buruk, dan perlawanan ini total, lebih dari bumi – langit atau terang dan gelap, melainkan baik lawan tidak baik, buruk.
            Dalam cerita – cerita itu selalu secara konkrit diperlihatkan bahwa orang yang buruk selalu terkalahkan oleh yang baik ( akan tetapi adakah mengenati kebaikan dan keburukan pada umumnya sehingga suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran itu dapat dikatakan baik da nyang tidak sesuai adalah buruk) kalau ukuran itu umum, maka kebaikan dan sebaliknya juga umum dan abstrak.
            Dalam perwayangan pertunjukan ini serba konkret. Masalahnya bagaimana silih berganti baik dan buruk.
            Dalam siklus rama, secara konkret terang sekali rama berlawanan dengan rahwana. Rahwana merupakan penjelmaan buruk. Tindakan rahwana itu bagi kebanyakan orang jelas tidak baik, karena mencuri istri rama.
            Peperangan antara rama dan rahwana ketika kerajaan rahwana diserbu oleh rama, menyebabkan banyak pahlawan negara alengka (kerajaan rahwana) gugur, baik anak rahawna maupun saudaranya. Masih ada dua saudara gagah dan sakti, yaitu wibisana dan kumbakarna. Wibisana yakin bahwa tindakan kakaknya (rahwana) itu tidak baik. Pada waktu ia diminta kakanya untuk berperang melawan rama, ia tidak mau, malahan ia menasehati kakaknya supaya segera tunduk kepada rama, penjelmaan wisnu itu, serta mengembalikan istrinya. Rahwana marah sekali dan mengusir wibisana. Wibisana pergi, dan pergilah ia ke rama menganut keyakinannya bahwa perang itu perang yang tidak baik. Baginya membela negara tak mungkin karena itu tidak baik pula, sebab rajanya tidak baik. Ia yakin bahwa rama penjelmaan wisnu, penyelenggara alam serta dunia. Patutlah kalau wibisana mengabdi pama sebab ia tertarik oelh yang baik, ia harus mengikuti kebaikan.
Kumbakarna adalah seorang panglima, ahli perang dan amat jujur. Ia tahu bahwa kakanya kepala negara yang tidak baik sifatnya, baik sebagai kepala negara maupun sebagai manusia. Iapun dipanggil raja serta diperintah, untuk melawan rama yang menyerbu negaranya. Kumbakarna tahu akan perintah itu, dan ia tahu ia akan kalah, akan tetapi ia lebih dulu mengatakan bahwa tingkah laku kakanya itu tidak baik. Jalan yang paling  jujur ubtuk menyelamatkan negara ialah mengembalikan istri rama kepada yang berhak.
Rahwana amat marah dan mengungkit – ungkit kemuliaan dan keagungan yang telah diberikan kepada kumbakarna, karena itu ia wajib melakukan segala peringtahnya. Kumbakarna mengembalikan segala kemuliaan dan keagungan itu, sebab ia tidak mengabdi untuk kemuliaan, dalam wayang diceritakan, bahwa kumbakarna memuntahkan segala makanan yang telah diterimanya di hadapan rajanya.
Namun kumbakarna berangkat juga kemedan perang bukan membela kakaknya tetapi membela negara sebagai warisan dari nenk moyangnya, dan gugurlah ia. Dalam pewayangan sikap kedua satria itu sangat terhormat, walaupun berlawanan, yang seorang mengitkuti musuh yang seorang gugur dalam medan perang. Tetapi kedua – duanya mempunyai alasan pribadi, kumbakarna beralasan, bahwa perang untuk memenuhi kewajiban sebagai panglima, benar tidaknya urusan itu bukan urusan dia, melainkan urusan panglima tertinggi yaitu raja.
Wibisana berkeyakinan bahwa orang harus mengikuti wisnu karena wisnu itu penyelamat dunia dan barang siapa merongrong keselamatan dunia ia akan musnah dari dunia, walaupun itu saudara sendiri.
Alasan kumbakarna lebih masuk akal. Ia berangkat ke medan perang untuk memenuhi kewajibannya sebagai panglima, apakah akibatnya, ia akan gugur, itu bukan pertanyaan baginya. Waktu ia dengan laskarnya melewati perbatasan negaranya untuk menghadapi nusuh, dewa – dewa menghormati dia dengan menghujankan wangi – wangian.
Waktu wibisana melintas perbatasan untuk mengabdi diri kepada rama, penjelmaan wisnu, melakukan dan mengikuti kebenaran denga tidak memperdulikan kata orang dan kemarahan kakaknya yang jga rajanya, dewa – dewa mengangakan mulutnya kagum atas itikad baik pahlawan itu.

PEMULIHAN NAMA BAIK
            Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati – hati agar namanya tetap baik. Lebih – lebih jika ia menjadi tauladan bagi orang / tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya.
            Ada peribahasa berbunyi “daripada berputih tulang” artinya orang lebih baik mati dari pada malu. Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa menjadi taruhannya. Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak – anaknya “jagalah nama keluargamu!” dengan menyebut “nama” berarti sudahmengandung arti “nama baik” . ada pula pesan orang tua “jangan membuat malu” pesan itu juga berarti menjaga nama baik. Orang tua yang menghadapi anaknya yang sudah dewasa sering kali berpesan “laksanakan apa yang kamu anggap baik, dan jangan kau laksanakan apa yang kau anggap tidak baik!”. Dengan melaksanakan apa yang dianggap baik berarti pula menjaga nama baik dirinya sendiri, yang berarti menjaga nama baik keluarga.
            Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan – perbuatan yang dihalalkan agama dan lain sebagainya.
            Tingkah laku atas perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu :
a)      Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral.
b)      Ada aturan – aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
Pada hakekatnya, pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya, bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan akhlak.
Akhlak berasal dari bahasa arab akhlaq bentuk jamak dai khuluq dan dari kata ahlaq yang berarti penciptaan. Oleh karena itu, tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. Untuk itu, orang harus bertingkah lau dan berbuat sesuai dengan akhlak yang baik.
Ada tiga macam godaan yaitu derajat/pangkat, harta dan wanita. Bila orang tidak dapat menguasai nafsunya, maka ia akan terjerumus ke jurang kenistaan karena untuk memiliki derajat/pangkat, harta dan wanita itu dengan mempergunakan jalan yang tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah, membohong, suap, mencuri, merampok, dan menempuh semua jalan yang diharamkan.
Hawa nafsu dan angan – angan bagaikan sungai dan air. Hawa nafsu yang tidak tersalurkan melalui sungai yang baik, yang benar, akan meluap kemana – mana yang akhirnya sangat berbahaya. Menjerumuskan manusia kelumpur dosa.
Ada godaan halus, yang dalam bahasa jawa, adiganf, adigung, adiguna, yaitu membanggakan kekuasaan, kebesarannya dan kepandaiannya. Semua itu mengandung arti kesombongan.
Untuk memulihkan nama baik, manusia harus tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah, berbuat budi darma dengan memberikan kebajikan dan pertolongan kepada sesama makhluk hidup yang perlu ditolongkan dengan penuh kasih sayang tanpa pamrih takwa kepada Tuhan dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.

PEMBALASAN
            Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang.
            Sebagai contoh, fahrie memberikan makanan kepada paring. Dilain kesempatan paring membereikan minuman kepada fahrie. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan serupa, dan ini merupakan pembalasan.
Dalam Al-Quran terdapat ayat – ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan pembalasan. Bagi yang bertakwa kepada tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkai perintah Tuhanpun diberikan pembalasan dan pembalasan yang diberikanpun pembalasan yang seimbang, yaitu siksaan di neraka.
Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi norma – norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya.. perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia lain.
Oleh karena tiap manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar atau diperkosa, maka manusia berusaha mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah pembalasan.
Jadi Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil". Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya
Jika fungsi keadilan tidak dikendalikan oleh negara, maka kemungkinan yang akan terjadi itu apa? bukan kemungkinan lagi, sudah terjadi sekarang, dimana orang benar masuk penjara, orang salah melenggang berpidato berdasi berbicara seperti tidak punya salah. liat anggota DPR itu minta dana aspirasi rumah aspirasi, sedangkan orang demo aja tidak diperhatikan apakah mungkin orang datang kerumah aspirasi didengarkan?bohong!liat tidak seorang bapak yang mau ketemu presiden dengan berjalan kaki dari jawa timur apakah di tanggapi?dimana keadilan?anaknya ditabrak polisi, mati. tapi polisi yang menabraknya melenggang bebas. sudah tidak ada keadilan. mulailah memikirkan revolusi

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com